3/10/2022

When every sad song turns into love songs (3)

1200 kilometer bersama untuk pertama kalinya.

Sejak pertama kali aku memutuskan untuk pergi, seharusnya aku sadar akan konsekuensi yang harus aku hadapi setelahnya: susah move on, sulit lupa, dan ingin terus berada di momen itu.

Mari sederhanakan konsep LDR, jika dia tidak bisa pulang, biar aku yang pergi ke tempatnya.

---

Setelah serangkaian kesibukan sejak akhir tahun, mulai dari pekerjaan sampai kesibukan lainnya, akhirnya aku menemukan sebuah jeda yang cukup berarti. Terlebih lagi, terlalu banyak arti kerena ku habiskan dengan seseorang yang memang berarti, untuk kali pertama, aku akan menyebut namanya. Randy.

Berawal dari sebuah telepon biasa di suatu malam, kala itu setelah beberapa waktu kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku bertanya, "memangnya aku masih sempat kalau berkunjung ke Makassar?". Kabarnya, ia akan dipindahtugaskan ke Manado di bulan Maret. Dalam benakku, hari-hari terakhirnya bertugas akan diisi dengan kesibukan-kesibukan menyelesaikan tugas, transisi penugasan, atau kesibukan lainnya. "Bisa dong, minggu depan ada tanggal merah". 

Tanpa banyak pertimbangan dan mempersiapkan itinerary yang matang, akhirnya aku membeli tiket pergi-pulang Jakarta-Makassar-Jakarta. Sejujurnya aku merasa amat sangat senang untuk pergi. Beberapa list tempat wisata dan tempat makan sudah dibuat. Beberapa diantaranya adalah Tanjung Bira dan Rammang-Rammang. Kalau boleh jujur, dari skala 1-100, keinginanku untuk pergi ke Tanjung Bira dan Rammang-Rammang hanya ada di angka 50. Keinginan utamaku pergi adalah untuk bertemu dengan dia, mengunjungi tempat-tempat favorit nya, dan turut hidup di dalam rutinitasnya di Makassar.

Perjalanan udara bukan perjalanan favoritku. Entah karena ini menjadi flight pertama sejak kepulanganku dari penugasan Indonesia Mengajar, atau karena aku akan bertemu dengannya, penerbangan siang itu terasa sangat menegangkan. Penerbangan siang itu terasa sangat panjang. Dua jam berlalu, pesawat membawaku mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Tempat yang asing karena baru kali itu aku menginjakkan kaki di tanah Sulawesi Selatan. Aku mengikuti arah penumpang lain yang pastinya menuju pintu keluar, pintu kedatangan. Sesampainya di sana, ujung mataku mendapatkan bayangan sosok yang tidak asing di tengah situasi yang serba asing ini. Dia. Dia berdiri di luar pembatas besi, menyambutku dengan hangat sesampainya aku di hadapannya.

"Jadi, gimana kabarnya?" pertanyaan yang canggung untuk membuka pertemuan, yang pada akhirnya hanya dijawab dengan tawa yang kaku dan patah-patah, selebihnya aku lupa apa yang dibicarakan di awal pertemuan. Yang kuingat adalah aku menikmati suasana pergantian sore menuju malam di Makassar, keramaian yang lumayan serupa seperti di kota-kota besar pada umumnya. Bedanya, ada dia di sampingku, mengantarku ke sudut kota yang asing dengan suasana yang sangat hangat, mengubah keasingan menjadi sebuah keramahan yang bisa diterima dengan mudah.

Tujuan pertama kami adalah makan mie kering di tempat favoritnya, kemudian makan pisang epe yang katanya makanan khas Makassar. Lagi-lagi, yang membuatnya spesial bukan seberapa khas makanan itu, tapi ceritanya tentang 'kenapa mie kering di rumah makan ini yang jadi favoritnya', atau ketika kami menerka-nerka jenis pisang apa yang dijadikan pisang epe.

"Malam ini kita tidur cepet ya, besok berangkat jam tiga pagi".

Berdasarkan itinerary yang dia buat, seharusnya keesokan paginya kami pergi ke Tanjung Bira. Ia berkali-kali bilang, "Pasir di Bira tuh lembuuut banget, kalau kaki udah nempel di sana rasanya gak mau lepas". Perjalanan menuju Tanjung Bira memakan waktu 4 jam dari Kota Makassar, pagi itu kami mulai perjalanan sebelum tepat jam 3 pagi. Aku memastikan dirinya tidak mengantuk saat mengendarai mobil dan akupun berusaha untuk tidak tidur di perjalanan. Perjalanan jauh ke Makassar untuk menghabiskan waktu bersama, sangat disayangkan jika harus tidur di perjalanan. Sepanjang jalan dihabiskan dengan cerita singkat tentang kota atau kabupaten yang dilalui, cerita rutinitas harian, cerita orang-orang terdekat, atau bahkan diam dalam pikiran sendiri. Orang bilang, dini hari adalah waktu paling jujur untuk bercerita. Hal itu benar adanya. Ada kalanya cerita yang dibagi begitu apa adanya, membuat yang bercerita terlihat begitu rapuh dan lemah. Tidak mudah bagiku untuk menjadi rapuh di depan orang lain. Bisa terlihat sebegitu menyedihkan di hadapannya adalah kelegaan tersendiri karena aku bisa menjadi apa adanya di hadapannya. Dan dia menerima.

Mungkin ini adalah gambaran nyata dari lagu Mocca yang berjudul On The Night Like This.

On the night like this, there's so many things I want to tell you
On the night like this, there's so many things I want to show you
'Cause when you're around, I feel safe and warm
'Cause when you;re around, I can fall in love every day
In the case like this, there are a thousand good reasons, I want you to stay...

Setelah lebih dari tiga jam perjalanan, langit gelap perlahan berubah menjadi terang. Perpaduan warna yang indah bisa dinikmati sepanjang jalan. Di sampingku ada yang kecewa karena tidak berhasil menikmati sunrise di titik nol, bagiku pagi itu tidak mengecewakan sama sekali. Warna langit bagaikan gulali pagi itu ditemani orang spesial di sampingku membuatku merasa cukup.

Tidak lama kami menghabiskan waktu di Tanjung Bira, duduk-duduk di pantai sambil menikmati suara ombak yang menenangkan, melepas lelah setelah berkendara dini hari, merekam pemandangan dan momen yang ada di depan mata, menikmati matahari yang semakin meninggi dan angin pantai yang terasa hangat. "Udah belum healingnya?" bagaimana bisa ku menyudahinya, jika pemandangan di depanku sedamai dan seindah itu.


Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, kembali ke Kota Makassar. Melalui jalan yang sama, kali ini terlihat lebih indah karena dilalui dalam kondisi terang. Garis pantai dan sawah-sawah rapi terbentang berwarna hijau cukup memanjakan mata, ditemani dengan cerita panjang yang membawa kami semakin mengenal satu sama lain. Hampir empat tahun mengenal dirinya, baru kali ini aku merasa sedekat itu. Senang sekali rasanya. Perjalanan empat jam terasa singkat. Selanjutnya kami singgah untuk makan siang di kedai Coto Makassar yang terkenal. Mangkuk coto pertamaku.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Maros. Tujuan selanjutnya adalah Rammang-Rammang, kawasan pegunungan Karst. Berulang kali aku telah mendengar cerita tentang tempat ini darinya. Senang rasanya kali ini aku benar-benar hadir di sana bersama orang yang selalu menceritakannya. Tentu saja aku menyukai tempat itu, meski ku tau teman perjalananku sudah lelah akibat bangun terlalu pagi dan pergi jauh di waktu yang amat singkat.




Keesokan harinya, ada beberapa hal yang harus ia kerjakan di kantor. Setelah memperhitungkan kondisi kekondusifan kantornya, pagi itu aku ikut masuk ke kantornya. Lagi-lagi aku bersyukur, pagi itu membuatku sedikit mengerti bagaimana kondisinya bekerja, bagaimana teman-teman di kantornya begitu baik dan menjaganya. Seusai segala urusan selesai, sore harinya kami melanjutkan perjalanan. Sebenarnya, perjalanan selanjutnya tidak ada di rencana itinerary awal. Di hari pertama sampai di Makassar, aku berpikir bahwa sangat disayangkan jika sudah sampai Sulawesi Selatan tapi tidak pergi ke Toraja. Toraja menjadi salah satu tempat favoritnya. Baginya, Toraja penuh kedamaian, maka aku sangat bersemangat ketika rencana ke Toraja disambut dengan baik dan bersemangat.

Kami pun melanjutkan perjalanan selama 8 jam dari Kota Makassar menuju Toraja. Perjalanan dimulai di sore hari. Aku selalu senang perjalanan darat antar-kota yang jauh, apalagi ke tempat baru, pasti banyak hal yang akan dilalui dan ditemukan. Kota dan Kabupaten baru, pemandangan baru, makanan baru, cerita-cerita baru. Apalagi dengan orang yang spesial, ini akan terasa sangat istimewa. Ada satu momen yang masih melekat sampai saat aku menuliskan cerita ini. Salah satu kota yang dilewati dalam perjalanan ini adalah Kota Parepare. Mungkin ini yang dinamakan semesta mendukung, langit sore itu cerah dan waktu kami sampai di Parepare tepat menjelang sunset. Sunset di Parepare dan betapa riangnya ia sore itu akan selalu aku kenang. Kami menikmati sunset di samping kedai Sunrise untuk Kamu, kedai minuman milik salah satu teman baiknya. Sunset sore itu terasa begitu indah dan manis. Sunset pertama kami.

Banyak cerita, canda dan tawa, karaoke di jalan dengan suara yang pas-pasan tapi terasa menyenangkan, bicara tentang berbagai keresahan dan keinginan, menikmati sedemikian momen berdua yang sebelumnya (dan mungkin beberapa waktu ke depan akan) jarang kami miliki. Aku sangat bersyukur dan menikmati perjalanan panjang ini. Kami sampai Toraja pukul 00.30 dan langsung menuju Lolai, rencananya kami akan melihat sunrise keesokan paginya. Kami menghabiskan sisa malam dengan beristirahat di dalam mobil. Pengalaman pertama istirahat di mobil di ketinggian sangat berkesan, kalau besok-besok diajak road trip dan tidur di mobil lagi pun aku tidak akan menolak.

Pukul 05.30 pagi kami bersiap untuk menikmati sunrise Kondisi sunrise point pun mulai ramai banyak yang berdatangan. Tapi rencana hanya rencana. Tagline Lolai adalah "Negeri di Atas Awan", sampai hampir pukul 6 pagi tidak juga nampak. Randy masih mencoba optimis dan meyakini bahwa sebentar lagi akan ada awan, sebaliknya aku meyakini bahwa pagi ini tidak akan ada awan. Aku dapat merasakan banyak pengunjung yang kecewa karena tidak ada "sunrise di atas awan" pagi itu, termasuk Randy. Memang ini bukan kali pertama dirinya ke Lolai, sudah berkali-kali ia melihat sunrise di atas awan dari tempat ini, tapi mungkin kehadiranku jauh-jauh ke sana membuat ekspektasinya meningkat. Ia tampak kecewa, tapi sungguh aku baik-baik saja. Bukankah itu bagian dari bermain di alam? Ketidakpastian. Aku sudah berulang kali menikmati sunrise di atas awan sebelumnya, setidaknya aku sudah tau bagaimana rasanya. Jika pagi itu cuaca bersahabat di Lolai, akan menjadi pagi yang indah karena sunrise pertama di ketinggian bersama dia. Kalaupun tidak, pagi itu tetap istimewa karena itu adalah pagi di Lolai, Toraja, bersama dia. Tanpa sunrise dengan tumpukan awan, pagi itu tetap istimewa buatku.

Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan ke hotel. Hotel Torsina, sebuah hotel tua yang sangat homey di Toraja Utara dengan bentuk bangunan yang Toraja banget. Hotel ini juga hotel favoritnya. Dalam perjalanan kali ini aku selalu percaya dengan pilihannya. 

 

Pagi itu dimulai dengan aktivitasnya dengan rekan kantor, aku hanya menyimak dan menunggu sambil sesekali memejamkan mata untuk beristirahat di area terbuka hotel. Siang harinya, kami kedatangan teman Randy, Bang Yus, yang mengajak kami berkeliling dan menceritakan berbagai cerita tentang Toraja. Pada banyak kesempatan aku hanya menyimak dan mendengarkan, aku selalu senang melihat dia berinteraksi dengan orang lain. Bahan perbincangannya bisa jadi sangat luas dan dalam. Ia adalah pembelajar sejati sekaligus pencerita yang baik.

Baginya, Toraja sudah seperti rumah yang menawarkan kedamaian dan keindahan, bagiku Toraja adalah hal baru yang sangat eksotis, dari mulai Tongkonan, tedong (kerbau) dan tanduknya, orang-orang yang berpakaian seperti di tahun 80-an, bangunan gereja dan ornamen lain yang kental dengan agama dan adat tertentu. Semua begitu menarik untuk dinikmati. Sisa hari kami habiskan di Buntu Burake dan salah satu cafe favoritnya dengan menu avocado toast favoritnya.

Keesokan harinya menjadi hari terakhir kami di Toraja, sebelum pulang, kami pergi ke Ke'te' Kesu', salah satu objek wisata yang wajib dikunjungi di Toraja. Kami memulai perjalanan pulang ke Kota Makassar pukul 10 pagi. Kami sempat singgah di Bukit Nona untuk beristirahat dan makan siang. Di perjalanan pulang, kami menghitung jumlah mobil kuning yang kami temui sepanjang Toraja-Makassar. Hal ini kami lakukan karena bagiku terlalu banyak mobil pribadi berwarna kuning di sana.

Untukku, perjalanan pulang ke Kota Makassar menjadi perjalanan yang cukup emosional, setelah beberapa hari kami habiskan bersama dengan segala rasa dan cerita yang tercipta, malam itu menjadi malam terakhirku ada di kota yang sama dengannya. Berkali-kali aku menahan tangis agar tidak pecah, lagi-lagi aku tidak mau terlihat lemah, tapi ternyata aku gagal lagi. Sebagian dari diriku merasa sedih karena harus kembali berpisah, sebagian lainnya ingin tertawa melihat diriku yang berubah menjadi cengeng di hari itu. Perjalanan panjang kami ditutup dengan hujan yang sangat deras di Makassar. Langit seakan ingin membuat perjalanan benar-benar bisa dikenang dengan sangat manis. 

 

"Hari-hari terakhirku di Makassar bener-bener jadi spesial."
"Ya ampun, jadi juga ke Toraja sama Gita"

Sebelumnya, aku tidak pernah tau bahwa kehadiranku begitu dinantikan oleh seseorang.

Segala perasaan tersimpan dalam memori. Sedikit banyaknya juga kutuliskan di halaman ini, sebagai pengingat bahwa pernah ada hari di mana aku merasa begitu istimewa dengan orang yang paling aku sayang.

Malam terakhirku di Makassar terasa singkat, tidurku nyenak. Pagi selanjutnya, tujuanku hanya satu, bandara. Saat di jalan menuju bandara, Randy bertanya, "Abis tidur, aku ngga sedih lagi. Kamu masih sedih ngga?". Rasa sedihku sepertinya sudah habis di malam sebelumnya. Pagi itu aku lebih tenang dalam menghadapi perpisahan. Sebaliknya, aku bersyukur atas hari-hari yang kuhabiskan bersama, pergi ke berbagai tempat yang ia suka, mencoba hadir langsung di kehidupan sehari-hari miliknya. 

Menyenangkan untuk bisa menghabiskan waktu bersama setiap hari. Jika bisa memilih, aku pun mau menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Mungkin ini belum saatnya, masih banyak cita yang perlu diraih. Masih banyak aspek dalam diri yang perlu dikembangkan. Sementara itu, semoga hati kami selalu punya kelapangan yang cukup untuk menjalaninya. Semoga kami selalu punya ruang yang cukup untuk saling percaya, untuk saling hadir dalam berbagai bentuk, untuk saling menghargai dalam segala kondisi.

No one said it would be easy. We will work on it together.

Untuk Randy yang baca tulisan ini, semoga di mana pun kamu tugas nanti, kamu selalu bisa menikmati harimu, dikelilingi banyak orang baik, dan selalu menemukan apa yang kamu cari. Meski jauh, aku bersedia menjadi pendengar berbagai cerita dan keluh kesahmu. Aku yakin, akan ada hari di mana keinginan kita terwujud. Sampai hari itu tiba, mari kita berusaha semaksimal yang kita bisa.

Terima kasih untuk 1200 kilometer perjalanan yang amat sangat berkesan.

Let's do this more often, for a very long time... <3

No comments:

Post a Comment