1/06/2022

When every sad song turns into love songs (2)

I remember
The way you glanced at me, yes I remember
I remember
When we caught a shooting star, yes I remember

Siang itu langit cukup cerah di perjalanan menuju Jakarta dari Cipanas. Selepas mengisi perut dengan semangkuk Bubur Ayam Lapangan, bubur ayam favorit mama dan bapak yang wajib dimakan setiap ada perjalanan ke Cipanas. Aku duduk di bangku penumpang depan, di sampingku ada seorang teman dekat (teman dekaaat sekali, hehe) yang mengendarai mobil. Lagu I Remember Mocca beralun menemani perjalanan kami.

I remember
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Di perjalanan kali ini, kami bermain kartu "Tentang Kita" edisi Pasangan. Hahaha. Sebenarnya agak geli main kartunya. Di satu sisi, nampaknya kami masih terlalu dini untuk beberapa pertanyaan yang ada, di sisi lain kartu ini juga membantu kami, setidaknya, untuk mengenal satu sama lain lebih dalam. Mengenalnya hampir 4 tahun belakangan, masih banyak hal yang belum ku tahu tentangnya. Juga sebaliknya.

Do you remember?
When we were dancing in the rain in that December

"Dancing in the rain in that December! Kayak tadi dong?" ucap ku sambil menahan tawa geli. Masih teringat jelas apa yang terjadi beberapa jam sebelum perjalanan ini berlangsung. Hujan di penghujung Desember, di tempat yang ku suka, bersama orang yang kini spesial. Memang bukan dancing in the rain, lebih tepatnya kehujanan di hutan, di jalan pulang, basah-basahan, bisa jadi pilek setelahnya, tapi hujan itu juga yang bikin bibir ini senyum-senyum terus kalau diingat.

---

Desember, akhir tahun, menjadi waktu yang pas untuk sebagian besar orang untuk melepas lelah, memberikan reward, merayakan berbagai pencapaian, mengambil jeda dan beristirahat, dengan berbagai cara, salah satunya pulang.  Dia pulang. Aku bukan tipikal orang yang merengek dan memintanya untuk pulang, I am okay with distance and time difference, but when he comes home, ada rasa senang yang membuncah, akhirnya bakalan ketemu!

Waktunya di rumah sangat singkat. Waktu yang singkat itu pun perlu dibagi untuk keluarga, teman, dan waktu kita berdua. Satu hal yang ku hargai adalah waktunya. He has a life, his life is not all about me. Satu atau dua hari cukup untukku dan aku bersyukur akan itu. Kali ini kita pergi ke tempat pilihanku. Kami berdua suka dengan alam terbuka, he loves both beaches and mountains. I prefer the mountains to the beaches. Jadi, kali ini kami ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Nggak ke puncak gunungnya, cukup trekking ke Curug Cibereum, atau aku biasa menyebutnya trek ini dengan sebutan "Cibodas".

TNGGP menjadi destinasi mainstream untuk orang-orang yang suka mendaki. Apalagi mereka yang berdomisili di Jabodetabek. Biasanya, Gunung Gede jadi pilihan favorit untuk mendaki. Ada beberapa jalur pendakian ke Gunung Gede, diantaranya jalur via Gunung Putri dan via Cibodas. Teman dekatku ini agung alias anak gunung, sering mendaki Gunung Gede, tapi seringnya lewat Gunung Putri. Dari ceritanya, bisa kusimpulkan bahwa ia kurang familiar dengan jalur Cibodas, bahkan belum pernah ke Curug Cibereum. Perjalanan ini menjadi kali pertama untuknya.

Bagiku, Cibodas dan Curug Cibereum sangatlah personal. Mama bekerja sebagai staf laboratorium fakultas kehutanan, di mana salah satu mata kuliah yang diampu laboraturiumnya mengharuskan mahasiswanya praktikum lapang ke Cibodas. Sejak kecil, aku sering kali diajak ke Cibodas. Dari yang hanya kuat beberapa HM (dari total 28 HM), hanya kuat sampai Telaga Biru, kemudian kuat sampai Rawa Gayonggong, setelahnya kuat sampai curug cibereum. Kemudian, saat remaja mulai kuat naik sampai puncak Gunung Gede, pertama kali mendaki sampai puncak dalam rangka Opsih dari Avtech. Mengingat serangkaian perjalanan itu, Cibodas menjadi salah satu destinasi wisata alam yang cukup personal yang ku suka.

Rawa Gayonggong adalah lokasi favoritku, di antara yang lainnya. Masih ingat di benakku, saat pertama kali aku melewati Rawa Gayonggong, rawa itu masih terbuat dari kayu. Beberapa bagian kayunya lapuk, patah, dan hilang. Hal ini menyebabkan siapapun yang melewatinya harus berhati-hati. Jalanan kayu tentunya licin, bisa terpeleset jika salah memijak kayu yang berlumut. Pernah juga ada momen di mana Rawa Gayonggong ditutup karena penggantian jembatan kayu menjadi jembatan beton. Saat ini jembatan beton tersebut mulai terdapat bagian-bagian yang bolong, jadi tetap harus berhati-hati saat melangkah.

Meskipun sudah berkali-kali ke Cibodas, Cibodas tetap menarik untukku. Hutannya yang selalu basah, jalur tangga-tangga berbatu yang membuat sakit kaki kalau alas kali yang digunakan kurang mendukung, Telaga Biru yang kini semakin terlihat jelas dari jalur pendakian, Rawa Rayonggong yang panjang, Curug Cibereum yang 'sebenarnya gitu-gitu aja', kali ini berlipat indah dan mengesankan rasanya. Atau karena aku pergi dengan orang yang... spesial? Entahlah.





Once again, I always love his Idea, "kalau kamu di sini, kamu pasti suka", yang beberapa kali ia ucapkan saat pergi ke tempat wisata bertema ke-alam-alaman. But my idea is, "suka banget kalau kamu di sini". Oh, yes, it sounds so cheesy but it is what it is. I'm happy when he's around, terlebih dia ada di sana, di tempat yang sangat sangat personal.




Perjalanan ke Curug Cibereum tidak memakan waktu yang lama, kami jalan santai, menikmati perjalanan, mengambil banyak foto, membicarakan beberapa hal, juga berjalan dengan saling diam. Bagiku, diam adalah sebaik-baiknya caraku untuk merekam memori. Menghirup bau sekitar, melihat apa yang ada, merasakan apa yang terasa, mendengar suara alami seperti gesekan ranting pohon, berbagai serangga, dan aliran air.

Temanku ini sudah menjelajah berbagai tempat yang sangat indah. Curug Cibereum tidak akan seindah Jalur Torean Rinjani, bukit dan lembah yang disuguhkan pun tidak secantik jajaran Bukit Ollon, air yang mengalir tidak sebening laut dan danau di Luwuk. Tapi melihatnya menikmati keindahan apapun yang dilihatnya hari itu dan senang menikmati Curug Cibereum, membuatku merasa lega. Ternyata tidak mengecewakan. Haha.





Kami berfoto-foto (lagi), makan bekal, diam, dan menikmati air terjun yang terjun bebas membasahi apapun yang dilaluinya. Segar. Indah. Menyenangkan. Tidak setiap hari bisa dirasakan.

Kami tau betul, bulan Desember pasti identik dengan hujan. Waktu kami di sana melebihi dari rencana awal kami. Kami turun lebih dari jam 12 siang. Kami pun tau konsekuensi apa yang harus diterima setelahnya: sangat mungkin untuk kehujanan. Benar saja, belum sampai setengah perjalanan turun, gerimis mulai menghiasi langit sampai ke bumi. Kemudian hujan deras. Kami tetap melanjutkan perjalanan, bermodal jaket yang menempel di badan. Bukan payung. Bukan pula jas hujan. Basah sempurna.

Tapi hujan juga berkah, kan? Hujan yang mendekatkan. Pada berbagai kesempatan, aku suka menikmati hujan tetapi benci kehujanan. Tapi yang satu ini, untukku, akan ku ingat dalam jangka waktu yang lama. Hujan favorit di penghujung Desember. Momen yang tepat untuk melepas segala lelah, melepas segala peluh, terlihat lemah, dan tampil paling apa adanya. Di saat yang bersamaan pula, tersadar bahwa tidak melaluinya sendirian, ada keberanian, ada rasa aman, ada rasa percaya.

Do you remember?
When we were dancing in the rain in that December...

To you, who is reading this right now, I'd like to say thank you. Thank you for being around, celebrating life as it should be, with love and compassion. Let's do this for a very long time... <3



P.S. semua foto diambil oleh si teman dekat.